Penulis : James Martin, SJ
Penerjemah : Antonius Sumarwan, SJ dan Dicky Sugianto
Ketebalan : 206 hlm
Ukuran : 14 cm x 21 cm
ISBN : 978-623-6724-19-4
Tahun Terbit : Januari 2022
Harga :
Saat saya menuliskan pengantar khusus edisi Bahasa Indonesia ini, suatu koinsidensi yang memprihatinkan menghentak saya. Pada 2016 komunitas LGBT Amerika Serikat dan Indonesia ternyata memiliki pengalaman serupa. Tidak mudah untuk mengatakan komunitas mana yang lebih beruntung atau pun yang lebih malang.
Komunitas LGBTQ di Amerika Serikat boleh jadi lebih mudah mengekspresikan diri secara publik, lebih didukung oleh media massa arus utama, dan lebih diakui hak-haknya sebagai warga negera. Namun hal tersebut tidak membuat terhindarkannya penembakan beruntun pada suatu klub malam gay di Orlando, Florida pada musim panas 2016. Empat puluh sembilan orang anggota komunitas LGBT tewas dalam tragedi ini.
Di Indonesia, meskipun tidak terjadi penembakan semacam itu, pada tahun yang sama berlangung apa yang oleh Human Right Watch disebut sebagai “kepanikan moral anti-LGBT”.1 Para menteri, anggota DPR, pejabat tinggi pemerintahan pusat maupun daerah, polisi, tokoh lembaga swadaya masyarakat dan pemimpin agama, semuanya berlomba-lomba dan silih berganti mengecam komunitas dan ‘ideologi’ LGBT. Tampaknya gelombang homofobia ini muncul sebagai reaksi terhadap dilegalkannya pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat dan banyak negara Barat lain. Henri Yulius Wijaya, dalam Intimate Assemblages: The Politics of Queer Identities and Sexualities in Indonesia (2020, hlm. 152), menunjukkan bahwa dalam kecaman berbagai pihak terhadap LGBT sepanjang 2016 tersebut LGBT tidak hanya dikaitkan dengan “ketidaknormalan dan pelanggaran moral” melainkan juga “budaya Barat, subversi terhadap budaya Indonesia, ancaman terhadap identitas dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.”
Lebih lanjut, Wijaya mencatat bahwa di tengah segala serangan tersebut, terjadi pula pembubaran paksa banyak kegiatan yang diadakan oleh komunitas LGBT; meningkatnya tindak kekerasan terhadap komunitas ini yang dilakukan oleh kelompok konservatif; absennya perlindungan oleh kepolisian; dan akhirnya kegagalan negara untuk mengakui dan melindungi warga negara yang LGBT.
Di tengah situasi seperti itu, pemimpin Gereja Katolik di Indonesia, seperti juga di Amerika Serikat, umumnya diam dan tidak bersuara. Kalaupun tidak mendukung stigmatisasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBT, mungkin mereka tidak berani mengambil risiko buruk yang timbul dari menentang suara mayoritas. Seorang sahabat dari Indonesia memberi saya informasi bahwa Tempo (29 Feb – 6 Mar 2016) menampilkan data kelompok masyarakat Indonesia yang tidak nyaman bertetangga dengan kelompok LGBT telah meningkat dari 64,6% pada 2005 menjadi 80,6% pada 2012. Awal 2018 Tempo kembali menerbitkan edisi khusus berjudul “Mengapa LGBT Dimusuhi” (5-11 Feb 2018). Dalam laporan utamanya, Tempo menampilkan hasil survei yang mengejutkan. Sebanyak hampir 60% responden menganggap LGBT tidak memiliki hak hidup di Indonesia; hampir 90% responden memersepsikan kelompok LGBT sebagai ancaman; dan hanya 49% menilai pemerintah wajib melindungi kelompok LGBT. Di tengah situasi seperti itu, dan dengan data statistik yang menakutkan seperti itu, diamnya banyak orang Katolik tidaklah mengejutkan, sebab orang Katolik hanyalah 3% dari populasi Indonesia.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa kebungkaman ini terjadi karena mereka tidak tahu apa yang mesti dikatakan dan bagaimana mengatakannya. Isu LGBT masih merupakan persoalan pelik untuk dibicarakan, khususnya ketika sudah menyangkut perilaku seksual dan pernikahan sesama jenis. Bagaimanapun saat ini Gereja Katolik sangat keras menentang pernikahan sejenis. Apalagi di Indonesia komunitas LGBT tidak begitu tampak seperti di negara-negara Barat. Banyak orang Katolik dan para pemimpinnya mengetahui komunitas ini hanya melalui berita, media sosial, dan sumber-sumber daring yang tidak akurat, dibanding perjumpaan pribadi. Dalam hal ini, Gereja Katolik di Indonesia mencerminkan pengalaman Gereja Katolik di negara-negara lain juga: adanya ketidaknyamanan mendalam atas isu LGBT ini.
Pada saat yang sama, Paus Fransiskus telah berbicara tentang perlunya perlindungan hukum tertentu bagi kaum LGBT lewat ikatan sipil sesama jenis. Hal ini merupakan kelanjutan banyak langkah yang telah diambil oleh Bapa Suci dalam menjangkau komunitas LGBT selama masa kepausannya.
Bagaimanapun, Fransiskus adalah Paus pertama yang menggunakan kata “gay” di depan umum. Kata-katanya yang paling terkenal mungkin, “Siapakah saya untuk menghakimi?” Ini merupakan jawaban atas pertanyaan tentang imam gay, yang kemudian diperluas untuk mencakup semua orang gay. Paus Fransiskus mengatakan bahwa orangtua dari anak-anak LGBT harus selalu menyambut mereka dan mendengarkan mereka. Dia berkata bahwa Yesus tidak akan pernah berkata kepada seorang LGBT, “Pergilah dariku.” Bapa Suci memiliki teman-teman gay dan baru-baru ini menunjuk Juan Carlos Cruz, seorang pria gay yang terbuka, untuk jabatan tingkat tinggi di Vatikan. Dan dia dengan hangat memuji pelayanan seorang suster biarawati Katolik di Argentina yang bekerja dengan individu-individu transgender. Semua gerakan ini telah membantu orang-orang LGBT merasa lebih diterima di Gereja Katolik.
Dan pada 2019, Paus Fransiskus mengundang saya untuk audiensi pribadi selama 30 menit di Istana Apostolik di Kota Vatikan, guna berbicara tentang pelayanan LGBT. Pada akhir percakapan kami, Bapa Suci meminta saya untuk melanjutkan pelayanan saya—yang saya laksanakan bersama dengan begitu banyak imam, suster, bruder, dan umat Katolik. Pertemuan ini, yang kemudian dipublikasikan oleh Vatikan, merupakan kelanjutan dari undangan sebelumnya agar saya berbicara pada Pertemuan Keluarga Sedunia yang diselenggarakan oleh Vatikan di Dublin, Irlandia, pada tahun 2018. Topik pembicaraan yang dipilih oleh Vatikan: “Bagaimana Paroki[1]paroki Kita Menunjukkan Sikap Hormat dan Ramah terhadap Kaum LGBTQ dan Keluarga Mereka.” Jadi, meskipun di beberapa bagian Gereja Katolik, terjadi kebungkaman, di bagian lain ada upaya untuk mendengarkan, pelayanan, dan advokasi.
Semoga buku saya membantu orang untuk menciptakan ruang perjumpaan yang aman dan nyaman karena dilandasi oleh apa yang pada Katekismus disebut sebagai “sikap hormat, bela rasa, dan kepekaan.” Ketika semakin banyak orang berani masuk ke dalam ruang perjumpaan itu dan berdialog dengan “sikap hormat, bela rasa, dan kepekaan,” saya percaya bahwa mereka yang terlibat akan memperoleh wawasan dan pemahaman baru. Inilah perubahan yang perlu atau yang dalam buku ini saya sebut sebagai “pertobatan”. Sekali lagi saya diteguhkan oleh kata-kata John Prior, “tujuan terdalam dari Gereja bukanlah untuk mempertahankan doktrin, melainkan untuk melanjutkan karya Yesus di dunia ini.” Dari ruang perjumpaan ini, wawasan dan pemahaman baru akan mengalir ke orang-orang yang belum masuk ke ruang dan mengundang mereka untuk terlibat. Buku saya memang ditujukan untuk orang Kristiani dan Katolik khususnya. Namun, saya berharap buku ini juga akan dimanfaatkan oleh mereka yang berasal dari tradisi agama dan kerohanian lain dan peduli akan isu LGBT. Memang, isu LGBT masih kontroversial dalam Gereja Katolik, termasuk dalam Gereja Katolik di Indonesia. Namun, justru di sinilah dialog diperlukan dan itulah yang kami upayakan. Saya percaya bahwa agama semestinya membebaskan, bukannya menindas; mendorong orang untuk merangkul, bukannya memukul; mewartakan cinta, bukannya kebencian. Semoga Gereja Katolik dan agama serta tradisi spiritual lain yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia mampu melaksanakan peran tersebut, menciptakan suatu dunia yang dilandasi “sikap hormat, bela rasa, dan kepekaan” terhadap semua orang.
James Martin, SJ