Penulis : Donatus Doni Koli, S. Fil
Ketebalan : 196 halaman
Ukuran : 140mm X 210mm
Tahun : Februari 2024
ISBN : 978-623-6724-37-8
Harga : –
Verba volant, scripta manent! Spoken words fly away, written words remain, kata-kata yang diucapkan akan berlalu, tulisan akan tetap tinggal. Ungkapan di atas sesungguhnya pernah dipromulgasikan seorang sastrawan akbar dan pengarang kenamaan, Pramoedya Ananta Toer. Pram berujar bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Ungkapan tersebut agaknya mengandung arogansi intelektual penulis, sehingga yang tidak menulis dianggap akan lenyap dari sejarah. Namun, mari tinggalkan persepsi naif tersebut dan lihatlah lebih dalam. Saya yakin, kata-kata dan ide yang dituangkan ke dalam sebuah tulisan memiliki kekuatan tertentu. Proses kreatif dalam menulis menganugerahkan kepada manusia medan kontemplasi, wilayah senyap untuk berpikir, mengambil jarak (berdistansiasi) dan mendudukan refleksi terhadap peristiwa. Tulisan dapat menghadirkan ruang untuk bertanya, menyoal fenomena dan menarik kita dari kesimpulan, sikap dan tindakan pragmatis yang keliru.
Hemat saya, aspek terpenting yang sedang dirujuk dalam ungkapan pembuka di atas adalah panggilan bagi manusia untuk berani merefleksikan sejarah dan peristiwa, mengendus kebenaran dan dengan kritisisme tertentu berani membongkar kemunafikan di baliknya. Aktifisme menulis mengingatkan manusia akan 3 lintasan terpenting dalam kehidupan: manusia sebagai mahluk sejarah, manusia yang hidup di sini dan kini (hic et nunc) dan dimensi futuristik manusia (cita-cita atau harapan manusia di masa depan).
Menulis, saya yakin, adalah sebuah tanggung jawab intelektual dan sosial subjek dalam ruang hidup bersama. Sejarah peradaban menjadi saksi dari begitu banyak fakta dan narasi memilukan –aneka memoria passionis yang membelenggu manusia, sebut saja kolonialisme, peperangan, diskriminasi rasial, intoleransi atas nama agama, kemiskinan, dsb. Dalam situasi tersebut, terdapat sekelompok orang yang bahkan tidak mampu berjuang bagi dirinya sendiri, pasrah di hadapan kenyataan dan menggantungkan nasibnya pada kebaikan atau kuasa yang lain. Kelompok yang termarginalkan ini tidak mampu bersuara bagi dirinya sendiri. Di sana, penulis hadir sebagai voice of the voiceless: bersuara bagi kaum yang tak bersuara. Menulis tidak hanya dibaktikan bagi tindakan menulis an sich, ada konteks berisi makna dan nilai-nilai yang kehadirannya lebih dari sekedar kata-kata, suatu martabat luhur yang dihembuskan dalam nafas sebuah tulisan. Martabat tersebut kita kenal sebagai kemanusiaan.
Sebuah tulisan menurut saya mampu mengungkapkan aspek mental dan kedalaman sisi kemanusiaan di balik sebuah peristiwa, membangkitkan enigma, memoria serentak ikhtiar dan cinta akan kemanusiaan. Atau mengutip Roland Barthes, tulisan adalah sebuah opsi terhadap kemanusiaan. Aspek humaniora dari menulis adalah untuk memahami pengalaman terdalam manusia – pengalaman-pengalaman yang tidak hanya membuat manusia disebut manusia, tetapi lebih daripadanya untuk memanusiakan manusia: memperjuangkan kemanusiaan sebagai sebuah keutamaan.
Sejak awal tahun 2022, saya resmi menjadi seorang Aparatur Sipil Negara pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumba Tengah. Dalam refleksi penulis, instansi ‘ikhlas beramal’ Kemenag Sumba Tengah sungguh menjadi rumah yang nyaman bagi saya untuk berkarya dan mengabdikan diri bagi bangsa, negara dan masyarakat.
Gambaran prejudis yang sempat terngiang bahwa birokrasi adalah arena yang tidak akrab atau bahkan anti dengan idealisme tidak saya temukan dan alami di lingkungan Kementerian Agama. Justru, ruang bagi persemaian ide, aspirasi, kolaborasi, idealisme dan ikhtiar untuk berjuang bagi kemanusiaan semakin ditempa dan terstruktur. Saya mengalami ruang, iklim yang nyaman, jalur dan peluang-peluang baik untuk menggagas dan mengeksplorasi ide-ide konstruktif nan progresif.
Pelbagai arah kebijakan strategis dan program prioritas Kementerian Agama seperti Moderasi Beragama, Tahun Toleransi, Transformasi Digital, Pencanangan Tahun Kerukunan Umat Beragama, adalah tema-tema yang hemat saya, dapat dieksplorasi melalui tulisan-tulisan. Di instansi Kementerian Agama, saya menemukan bahwa justru idealisme akan kebaikan perlu diperjuangkan, khususnya untuk mewujudkan pembangunan nasional melalui Bahasa agama.
Buku yang hadir ke hadapan pembaca ini merupakan kumpulan esai dan opini saya, yang hampir semuanya ditulis dan dikerjakan dalam setahun pengabdian saya sebagai ASN Kementerian Agama. Ada yang mungkin bertanya-tanya mengapa memilih Parrhesia sebagai judul buku? Jujur saja, Parrhesia sesungguhnya terinspirasi dari platform podcast Bimas Katolik Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumba Tengah (yang patut saya akui mandeg setelah di-launching pada Oktober 2022 lalu). Termin Parrhesia merupakan sebuah istilah Yunani Klasik yang diangkat dan dibahasakan secara sistematik oleh Michel Foucault, seorang pemikir dan filsuf Prancis. Aktivisme Parrhesia berarti “mengatakan segala sesuatu” namun memiliki kekhususan yang khas karena tidak semua pernyataan masuk dalam kategori Parrhesia.
Pada prinsipnya, makna utama kata Parrhesia adalah ‘menyatakan kebenaran’ atau ‘tanpa khawatir menyatakan kebenaran’. Kata ini menyimpan dua ciri mendasar yang menautkan antara kepercayaan (belief) dan kebenaran (truth). Artinya sebuah kebenaran yang diwartakan bisa dipercaya dan mampu memproduksi kredibilitas pada audiens atau penerima informasi. Parrhesia memproyeksikkan aktivitas lisan dimana seorang pembicara mengungkapkan hubungan pribadinya dengan kebenaran, dan bersedia menanggung risiko karena mengungkap kebenaran yang mana pengungkapan kebenaran itu sebagai kewajiban untuk membantu tercapainya Bonum Commune. Martabat Parrhesia dengannya terletak pada visi kemanusiaan luhur: mewartakan kebenaran, merawat peradaban demi nutrisi kemanusiaan. Saya melihat dan tentunya berharap buku ini, sedikit banyak dapat menjadi representasi aktivisme Parrhesia ke tengah masyarakat dan umat beragama demi pewartaan kebenaran serta lentera aksara demi peradaban dan kemanusiaan.