Membincangkan HAM
Al Andang L Binawan
Perbincangan tentang hak asasi manusia bisa terbedakan dalam tiga ranah. Yang pertama adalah ranah filosofis, termasuk etis, yang lebih bersifat abstrak. Yang kedua adalah ranah yuridis, dari yang bersifat deklaratif seperti Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia atau DUHAM sampai ke peraturan-peraturan daerah atau malah aturan yang lebih rendah. Yang ketiga adalah ranah praktis aplikatif dan biasanya bersifat politis. Ketiganya terkait meski punya ciri khas dan kompleksitasnya masing-masing. Hanya, pembedaan tetap penting agar pembicaraan bisa lebih nyambung.
Terkait dengan hal itu, ada diskusi panjang pula di dalamnya. Karena itu, penerbitan buku dokumentasi diskusi yang terpisah, demi kedalaman dan kekayaan nuansa, menjadi sangat bermakna. Hal inilah yang pertama-tama layak dihargai dalam penerjemahan dan penerbitan artikel-artikel tentang HAM dalam ranah pertama dalam dua buku yang berjudul Hak-hak Asasi Manusia: Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik (jilid 1). serta Hak-hak Asasi Manusia: Aneka Suara dan Pandangan (jilid 2). Dengan artikel-artikel yang berisi segala macam argumentasi dan perdebatan wacana HAM ini pembaca diharapkan mempunyai wawasan yang luas dan dalam tentang HAM, yang memberi “ruang bernapas lebih” dalam memahami dan menerapkan HAM.
Pendasaran dan Makna HAM
Wacana HAM dalam ranah filosofis memperbincangkan pemaknaan dan pendasaran HAM. Karena itu, titik tolaknya adalah beberapa pertanyaan pokok, seperti siapakah manusia, apa esensi manusia, apa arti hak, dan apa dan mengapa asasi. Muaranya adalah suatu imperatif etis yang menunjuk pada tindakan yang seharusnya bagi manusia.
Hal-hal itulah yang diperdebatkan dalam delapan tulisan dalam buku jilid 1. Ada beberapa nama pemikir yang cukup terkenal dalam deretan ini, seperti Jack Mahoney, Joseph Raz, dan Ronald Dworkin. Dua penulis terakhir memang lebih dikenal sebagai filosof hukum sehingga keduanya mengaitkan refleksi tentang HAM ini dengan bidang keahlian mereka itu.
Joseph Raz menulis tentang hakikat hak-hak. Dalam tulisannya itu ia menguraikan kompleksitas pemahaman tentang hak, mulai dari maknanya, hierarkinya, hubungannya dengan kewajiban, dan juga dengan kepentingan, serta pribadi yang mempunyai hak. Refleksi ini dilanjutkan oleh Joel Feinberg dalam tulisan berikutnya dan ditempatkan dalam konteks hidup bernegara oleh Dworkin. Tentang hak ini, setidaknya memang perlu dipahami adanya dua konsep dasar. Yang pertama hak dilihat sebagai kebebasan (freedom). Karena fokusnya adalah pribadi yang mempunyainya, dan karena kebebasan bisa berarti “bebas dari” dan “bebas untuk”, pihak lain pada dasarnya bersifat pasif dalam menjamin hak ini. Inilah paham hak dari kubu liberal.
Di lain pihak, ada paham—yang biasanya diasosiasikan dengan paham kubu sosialis—bahwa hak lebih berarti entitlement atau berhak dalam relasinya dengan pihak lain. Karena itu, pihak lain mempunyai kewajiban positif terhadap pihak yang mempunyai hak.
Dalam ketegangan dua makna hak ini, negara perlu secara serius mendalaminya supaya bisa bersikap dan bertindak dengan lebih tepat terhadap warganya. Relasi ini memang bersifat kontekstual, tetapi ada beberapa prinsip yang perlu dijadikan ukuran obyektif. Dworkin menawarkan beberapa gagasan agar negara tidak terlalu naif dan juga tidak terlalu keras terhadap warganya. Dalam penerapan kontekstual ini, ada toleransi yang memang diberikan, sesuai situasi dan kondisi masing-masing negara, yang dalam bahasa Konvensi Eropa biasa disebut the margin of appreciation.
Dalam kehidupan masyarakat untuk berbangsa secara modern, HAM lalu menjadi landasan minimal dari setiap kompromi kebijakan yang bermuara pada hukum. Inilah yang ditekankan John Rawls dalam tulisannya, yang dia tawarkan sebagai tolok ukur “derajat keadilan” dari hukum internasional. Dengan kata lain, HAM menjadi inti dari sehimpunan gagasan politik yang mutlak diperhatikan dalam merumuskan kebijakan umum, baik tingkat nasional maupun internasional.
Pluralitas Pemahaman
Yang menjadi salah satu persoalan pokok dari wacana di ranah ini adalah pluralitas tafsir atas manusia. Di satu sisi, tafsir selalu bersifat subyektif karena tafsir tidak mungkin bebas nilai. Tafsir selalu dipengaruhi oleh kepentingan ataupun premis yang sudah dibawa oleh si penafsir, seturut pepatah Latin quidquid recipitur, recipitur ad modum recipientis (hal-hal yang diterima, diterima seturut cara dari si penerima).
Di lain pihak, manusia sebagai sebuah “obyek” selalu terkait dengan konteks, baik itu konteks ruang maupun konteks waktu. Dalam hal ini, tafsir atas konteks itu pun memengaruhi permenungan atau refleksi tentang esensi manusia. Tidak gampang menentukan apakah konteks itu sekadar menjadi variabel sekunder bagi manusia, atau semacam konstanta yang juga menentukan jati-diri manusia itu. Yang jelas, konteks lalu memengaruhi skala prioritas.
Hal inilah yang kemudian menjadi latar dari perdebatan tentang universalitas dan relativitas nilai-nilai HAM. Buku jilid 2 lebih berfokus pada masalah ini. Ada delapan belas tulisan yang dihimpun dalam buku jilid 2 ini, yang dibagi dalam empat kategori. Selain diantar oleh penyunting dengan tulisannya pengantarnya, rangkaian tulisan itu diawali dengan tulisan Steven Lukes tentang lima pandangan tentang HAM, yang dikemas dalam lima perumpamaan atau fabel. Tulisan ini lalu memberi cakrawala persoalan yang mau diangkat dalam kumpulan karangan jilid kedua ini. Salah satu pengandaian dasarnya adalah keunikan manusia vis-á-vis manusia lain atau juga masyarakat.
Meski memang unik dan berbeda, bahwa manusia itu bisa saling berinteraksi, memberi indikasi bahwa ada kesamaan hakiki antarmereka. Inilah yang dicari dalam ranah filosofis ini. Hanya, karena manusia adalah makhluk yang terus menjadi, refleksi filosofis atas manusia juga tak kan pernah purna. Perkembangan baru akan membuka peluang pada dekonstruksi paradigma lama atau pembongkaran “cerita-cerita besar” untuk bisa menampung perkembangan itu.
Persis di sinilah masalahnya. Di satu sisi ada kecenderungan manusia untuk bisa membuat “cerita bersama” untuk memayungi hidup bersama itu. Di sisi lain, akan selalu ada ketidakpuasan orang atas cerita besar itu. Dinamika ini pulalah yang membuat wacana pada ranah pertama ini akan selalu bergerak dan menarik untuk terus disimak.
Dalam hal pendasaran HAM pun ternyata ada beberapa perbedaan (kategori tulisan pertama) meski juga perlu dicari pendasaran yang bisa diterima semua pihak walau mungkin berarti kompromi. Kumpulan karangan ini mencantumkan tiga tulisan menarik sehubungan dengan masalah ini, yaitu tulisan Jürgen Habermas yang berjudul Beberapa Catatan tentang Legitimasi Yang Berdasar pada Hak-hak Asasi Manusia, tulisan Richard Rorty berjudul Hak-hak Asasi Manusia, Rasionalitas dan Sentimentalitas, serta Emanuel Levinas dengan Hak-hak Seorang Manusia dan Hak-hak Orang lain. Dengan pengandaiannya tentang relasi individu manusia dengan masyarakatnya, masing-masing menarik kesimpulan tentang pentingnya hak-hak asasi manusia.
Kalau dalam dua kategori berikutnya (dua dan tiga) diurai relativitas HAM dalam konteks kultural dan konteks agama, bagian terakhir buku ini memaparkan perdebatan tentang kaitan HAM dengan demokrasi. Perdebatan tentang hal ini menjadi penting karena otonomi individu yang makin menguat. Secara singkat, dalam kompleksitas dan heterogenitas masyarakat itu, HAM bisa menjadi bahasa yang universal yang bisa menjadi titik pijak kebersamaan agar tak terjadi anarki. Pemahaman ini cukup umum, tetapi masih ada perdebatan tentang derajat kepentingannya dan bagaimana penerapannya.
Plus-minus
Sekali lagi, buku ini pantas dibaca sebagai pengayaan cakrawala filosofis dalam perkara HAM. Karena menawarkan banyak gagasan yang mendasar, buku ini tidak hanya penting bagi para “penggiat” HAM dalam ranah pertama. Para penggiat dan praktisi HAM pada ranah yuridis dan praktis (politis) juga penting membacanya agar tidak kehilangan arah walau kedua buku ini tidak tanpa kelemahan.
Kelemahan pokok buku ini umum terjadi dalam buku-buku terjemahan. Traductor traditor est (Latin), atau a translator is a traitor. Ungkapan itu menunjukkan bahwa tidak ada terjemahan yang sempurna. Pasti ada unsur “pengkhianatan” di dalamnya, secuil apa pun. Demikian pula dalam buku ini yang, antara lain, tampak beberapa kalimat panjang yang tidak gampang dipahami. Sebaiknya, kalimat panjang dalam versi bahasa asli dipecah menjadi kalimat yang lebih pendek agar lebih “nyaman” bagi pembaca dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, latar belakang penerjemah yang lebih berlatar belakang filsafat menyebabkan beberapa istilah teknis yuridis agak meleset diterjemahkan. Misalnya, covenant, yang dalam bahasa teknis yuridis internasional hanya dipakai untuk kedua kovenan “babon” (ICCPR dan ICESCR), diterjemahkan menjadi konvensi. Padahal, konvensi biasanya menunjuk pada “anak-anak” dari kovenan. Benar, terjemahan itu tidak sangat mengganggu, tetapi ketelitian dan ketepatan pasti akan lebih membantu!
——————————————————————————
Al Andang L Binawan Staf Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Kompas 3 Desember 2007
——————————————————————————
AGAMA, AKAL BUDI, DAN MODERNITAS
Oleh Otto Gusti
(Dosen Etika Sosial di STFK Ledalero, Maumere, Flores)
Jerman adalah tanah air para sastrawan dan pemikir. Ungkapan ini melukiskan kebesaran sekaligus kebanggaan masa lalu Negara Jerman. Gaungnya tidak hanya sebatas Eropa, tetapi juga menembus hingga seantero jagat.
Banyak sastrawan dan pemikir kelas wahid lahir di Jerman. Johann Wolfgang Goethe, Berthold Brecht, dan Friederich Schiler adalah beberapa contoh nama besar yang turut menentukan perkembangan dunia sastra. Dari ranah filsafat terdapat nama-nama seperti Emmanuel Kant, GWF Hegel, Martin Heidegger, Ernst Tugendhat, Theodor W. Adorno dan sederetan nama besar lainnya.
Kebesaran Jerman bukan cuma milik tradisi masa silam. Pada abad ke-21, dua pemikir besar yang sudah lanjut usia tetapi masih produktif seperti Josef Ratzinger dan Juergen Habermas. Josef Ratzinger atau lebih dikenal dengan Paus Benediktus XVI adalah pemegang pimpinan tertinggi Gereja Katolik Roma sekaligus salah seorang teolog Katolik terbesar abad ini.
Juergen Habermas merupakan seorang filsuf besar dengan tatapan mata terbuka ke persoalan-persoalan sosial, seperti terorisme global, fundamentalisme agama, kemiskinan global dan dampak ekologis dari gaya hidup masyarakat modern. Karyanya paling banyak diminati dan dibaca oleh para penggemar filsafat. Berbeda dengan Josef Ratzinger sebagai penjaga kebenara iman Katolik, Hebermas menyebut dirinya religioes unmusikalisch – “tidak berbakat secara religius” dan filsuf postmetafisis.
Karena berasal dari latar belakang tradisi intelektual berbeda, debat publik kedua antipode ini menjadi menarik. Pertemuan historis tersebut berlangsung pada hari Senin, 19 Januari 2004 atas inisiatif “Katholische Akademie” di Bayern, Jerman. Seminar utama Habermas dan Ratzinger yang dibawakan dalam diskusi tersebut dipublikasikan oleh Penerbit Herder, Jerman dengan judul “Dialektik der Saekularisierung”. Moderator diskusi sekaligus editor buku, Florian Schueler, menyebut karya ini sebagai “sebuah dokumen dengan perspektif masa depan tentang kondisi intelektual zaman ini”.
Wacana Komunikatif
Kehadirannya dalam edisi bahasa Indonesia di bawah judul Dialektika Sekularisasi yang diterjemahkan oleh Paul Budi Kleden patut disambut gembira. Pembaca akan terbantu dengan edisi Indonesia ini karena dilengkapi dengan biografi intelektual dan komentar tentang pemikiran Juergen Habermas oleh A. Sunarko (hal. 57 dan seterusnya) dan Josef Ratzinger oleh Paul Budi Kleden (hal. 129 dan seterusnya).
Apakah mungkin terdapat titik pijak bersama untuk membangun dialog antara seorang filsuf pencerahan dan teolog penjaga kebenaran dogma iman? Bukankah filsafat pencerahan ditandai dengan sikap kritis dan skeptis terhadap peran publik agama-agama? Sementara bukankah kebenaran dogma cenderung menganggap rasionalitas sebagai musuh dan penghancur moralitas agama?
Tesis teologis awal Josef Ratzinger mengungkapkan dengan jelas bahwa filsafat pencerahan tak lebih dari sebuah ajaran sesat. Rasionalitas percerahan bertanggung jawab atas putusnya pertautan erat antara iman dan akal budi, agama dan ilmu pengetahuan seperti tampak di abad pertengahan. Modernitas telah mendepak agama ke ruang gelap irasionalitas. Akal budi modern bersifat buta terhadap kebenaran prapolitis agama yang melampaui dirinya.
Akan tetapi, dua posisi filosofis yang berseberangan ini tidak menghalangi Juergen Habermas dan Josef Ratzinger untuk bertemu dan berdebat mencari kebenaran. Kebenaran tak pernah dapat digenggam erat, tetapi selalu hadir dalam proses pencarian di tengah sebuah masyarakat komunikatif. Kebenaran absolut yang digenggam erat hanya akan menjerumuskan manusia ke dalam bahaya fundamentalisme, intoleransi, dan terorisme.
Josef Ratzinger dan Juergen Habermas coba menemukan prinsip-prinsip dasar sebuah tatanan masyarakat yang bebas dan damai. Untuk itu, agama dan rasionalitas sekular perlu membangun kerja sama.
Pertanyaan muncul, apakah agama boleh memberikan rambu-rambu batas bagi ruang gerak akal budi? Ataukah agama yang harus dibatasi oleh rasionalitas sekular agar dijauhkan dari patologi fundamentalisme dan terorisme? Habermas dalam salah satu karyanya terbaru Zwischen Naturalismus und Religion – Antara Naturalisme dan Agama (2005) menunjukkan bahwa bahaya fanatisme bukan cuma milik agama, tetapi juga dapat menggerogoti akal budi sekular dan ilmu pengetahuan modern. Idiologi naturlistis yang terungkap dalam kemajuan biogenetik, penelitian otak dan robotik telah melampaui kompetensinya dan berambisi menawarkan gambaran tentang pribadi manusia secara holistik.
Perbenturan antara naturalisme ilmiah dan fundamentalise agama menuntut keterbukaan agama dan ilmu pengetahuan, iman dan rasionalitas sekular untuk terus membangun dialog. Wacana komunikasi antara agama dan ilmu pengetahuan ini telah dimulai dan dikembangkan oleh Josef Ratzinger dan Juergen Habermas.
Dalam dialog tersebut, Josef Ratzinger berbicara tentang dasar-dasar moral prapolitis sebuah negara liberal. Bahaya nuklir, kloning manusia dan kehancuran ekologis merupakan dampak tekonologi modern dan produk akal budi manusia. Ini menuntut peran etis agama, demikian Ratzinger, untuk mengawal kerja rasionalitas. Agama dalam kacamata Ratzinger berperan sebagai instansi moral tertinggi guna mengawasi agar proses modernisasi tidak tergelincir ke luar rel nilai-nilai kemanusiaan universal.
Peran Agama
Peran agama sebagai “organ control” tertinggi dalam masyarakat liberal jelas tidak dapat diterima dalam kerangka berpikir postmetafisis Habermas. Alasannya, prosedur demokratis tidak dibangun di ruang kosong tetapi sudah mengandung muatan normatif. Karena itu dalam masyarakat demokratis tidak ada lubang yang masih harus diisi dengan “substansi moral prapolitis” seperti dianjurkan Ratzinger (hal. 8). Negara hukum demokratis, demikian Habermas mendapat sumber legitimasi dari setiap proses diskursus bebas represi yang dibangun di ruang publik. Diskursus tersebut bisa, tetapi tidak harus dibangun di atas tradisi agama-agama.
Namun, Habermas juga tidak setuju apabila Negara dibentuk dari “komunitas para setan” (Gesellschaft von Teufeln). Negara demokratis tetap membutuhkan nilai-nilai, motivasi, dan kebajikan etis yang terpancar dari mata air tradisi agama-agama. Minat Habermas untuk berdialog dengan agama-agama ditunjukkan secara sistematis oleh Sunarko dalam artikelnya berjudul Dialog Teologis dengan Juergen Habermas (hal. 57-128).
Keterbukaan terhadap agama ditanggapi oleh Ratzinger sebagai pengakuan Habermas akan makna dan peran penting agama dalam masyarakat sekular. Modernitas dan filsafat postmetafisis kehabisan bahasa untuk mengungkapakan pengalaman manusia akan penderitaan, keselamatan, dan hidup setelah kematian. Modernitas harus menyadari peran penting agama dan tak boleh secara apriori mendepaknya ke ruang irasionalitas. Habermas dan Ratzinger mengharapkan agar terjadi proses belajar ganda dan komplementer antara agama dan akal budi (hal.28). Menurut Habermas, akal budi adalah logos dari bahas. Maka, baginya adalah lebih gampang untuk beriman kepada Roh Kudus.
Pertanyaan, mengapa Habermas masih menyebut diri sebagai filsuf postmetafisik jika akhirnya setuju dengan peran agama yand dianjurkan oleh Josef Razinger. Editor edisi Indonesia, Paul Budi Kleden, berkomentar bahwa apa yang dicapai kedua pemikir tersebut bukan konsensus sungguhan, melainkan quasi konsensus (hal. 130 dan seterusnya). Habermas dan Ratzinger sama-sama melihat pentingnya agama berkiprah di ruang publik.
Namun, kiprah agama, menurut Habermas, terjadi dalam kerangka postmetafisik dengan pengharapan atas pluralitas rasio. Sementara Ratzinger melihat pluralitas rasio sebagai bencana dan mengimpikan keutuhan dunia di bawah payung kerangka metafisis.
———————————————————————————————————-
TEOLOGI FEMINIS
Judul Buku (asli) : Introducing Feminist Theology
Nama Pengarang : Anne M.Clifford
Penerbit : ORBIS Book, Maryknoll, New York 2001
Judul Buku (terjemahan) : Memperkenalkan Teologi Feminis
Penerbit : Penerbit Ledalero, Seminari Tinggi
Ledalero, Maumere, Flores 2002
Nama Penterjemah : Yosef M. Florisan
Gender, Development and Equality sudah dicanangkan sejak Konperensi Perempuan sedunia Pertama di Mexico City, tahun 1975. Sebelum tahun itu pembangunan dan peran kaum perempuan selalu bermasalah dan tidak terselesaikan. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan gender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu arus pengutamaan gender atau gender mainstreaming melanda dunia. Indonesia baru dalam pemerintahan Gus Dur, memenuhi ajakan gelombang dunia ini.
Gereja sebagai bagian dari masyarakat tidak ketinggalan mengalirkan arus pengutamaan gender ini melalui sosialisasi keadilan gender kepada umat. Jaringan Mitra Perempuan (JMP-KWI) merupakan institusi formal yang bertugas mengarus utamakan gender dalam Gereja. Para petugas sosialisasi wawasan gender selalu mendapat kesulitan ketika umat mempertanyakan landasan teologi tentang keadilan/kesetaraan gender. Rupanya ketidak adilan gender tidak dapat dijelaskan duduk persoalannya bagi umat beriman tanpa pemahaman tentang teologi feminis.
Kehadiran buku “Memperkenalkan Teologi Feminis” di Indonesia sangat tepat dan sangat membantu. Sebagai seorang teolog feminis Katolik yang pertama di Indonesia (1982), saya menghargai dan merasa sangat dibantu oleh usaha Penerbit Ledalero menerbitkan buku terjemahan “Introducing Feminist Theology”.
Pertama-tama saya sampaikan penghargaan sebesar-besarnya untuk penterjemahnya. Ia merangkai kata-kata dengan sangat manis untuk dijadikan kalimat sehingga mudah dicerna, dimengerti dan dipahami.
Membaca seluruh isi buku terasa bahwa Anne M.Clifford berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh kepada pembaca yang ingin memahami perspektif perempuan dari sisi seluruh kehidupan lahir dan batin. Apalagi secara jelas ia menyatakan bahwa gerakan feminisme tidak akan membawa manusia untuk menuju sisi berlawanan yang ekstrim (melawan laki-laki), tetapi mengajak semua manusia untuk berperilaku dan bersikap lebih manusiawi terhadap kaum perempuan.
Anne M.Clifford memulai tulisannya dengan menjelaskan secara runtut perkembangan pemikiran aliran feminisme. Untuk mendapatkan kaitan feminisme dengan Teologi Feminis Kristen, ia menguraikan apa itu feminisme, sejarah feminisme serta aliran-aliran besar feminisme liberal, feminisme kultural, feminisme radikal dan feminisme sosialis. Dengan membaca uraian ini pembaca akan lebih memahami feminisme. Pemahaman tentang feminisme ini bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan umat Katolik/Kristen khususnya sangat penting karena selama Orba feminisme diberi stigma “gerakan perempuan komunis/terlarang”. Feminisme yang merupakan pencarian identitas politik bagi perempuan, selalu diartikan sebagai gerakan “perempuan liar” bagi siapa saja yang tidak menginginkan “kebebasan perempuan”. Buku Anne M. Clifford memberikan penjelasan duduk persoalannya mengapa begitu.
Bahwa Feminisme bukan merupakan gerakan perempuan liar makin jelas, ketika Anne menjelaskan setiap pandangan aliran feminisme. Feminisme liberal, menekankan hak-hak sipil, memandang hak kaum perempuan bebas mengambil keputusan atas seksualitasnya dan hak reproduksi mereka. Feminisme cultural disebut pula “feminisme reformatif” dan “feminisme “romantis”, mengkaitkan nilai kehidupan dengan nilai tradisional perempuan seperti: bela rasa, pengasuhan, pengelolaan lingkungan hidup, nilai kemanusiaan yang menekankan moral. Feminisme radikal menekankan penghapusan merajalelanya dominasi laki-laki terhadap kehidupan. Dimulai dari dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian muncul berbagai dominasi berbasis kekuasaan. Feminisme sosialis menekankan dominiasi laki-laki kapitalis berkulit putih dalam perjuangan keadilan ekonomi global. Penjelasan Clifford aliran feminisme dari gelombang pertama sampai gelombang ketiga makin nampak jelas ketika dikaitkan dengan gerakan moral dari feminisme gelombang ke tiga, spiritual feminisme dan ekofeminisme.
Kaitan gerakan feminisme dengan tafsir Kitab Suci diuraikan panjang lebar dan jelas. Usaha Elizabeth Cady Stanton memahami Kitab Suci dari sudut pandang perempuan dijelaskan secara jelas oleh Clifford, sehingga pembaca mampu menghilangkan dugaan selama ini bahwa Elizabeth Cady Stanton akan “merubah” Kitab Suci.
Masih dalam persoalan Kitab Suci, Clifford menjelaskan bagaimana perempuan Katolik di abad 20, seperti Elizabeth Schlusser Fiorenza berusaha mengajak perempuan menafsir Kitab Suci secara kritis. Sebagai pakar Kitab Suci yang berpendidikan akademis, Fiorenza menawarkan metoda perempuan membaca Kitab Suci. Siapa Elizabeth S.Fiorenza dan bagaimana usahanya membebaskan perempuan melalui tafsir Kitab Suci, diuraikan secara rinci dan jelas.
Bahasa tentang Allah merupakan persoalan dalam perjuangan keadilan gender. Beragam pandangan kaum feminis tentang Allah diuraikan dalam buku ini. Uraian tentang pandangan perempuan sejak awal Allah Kristen, Allah Trinitas, pandangan kaum womanis, kaum hispanik, perempuan Afrika, perempuan Korea, sampai dengan ajakan terbuka untuk perempuan memandang Allah, sangat asyik diikuti dan berdaya reflektif.
Gereja sebagai institusi masih melakukan ketidak adilan gender. Masalah ini dapat dipahami ketika membaca bagian buku ini yang menguraikan “Beragam Sisi Tilik Kaum Feminis tentang Perempuan dan Gereja”. Uraian tentang pandangan kaum feminis tentang perempuan dan Gereja membuka wawasan baru. Pluralitas merupakan salah satu nilai feminisme. Maka menerima dan mengakui berbagai pandangan yang berbeda merupakan kekayaan dan sekaligus bersikap tanpa kekerasan sebab tidak memaksakan satu pandangan saja. Clifford mencatat berbagai pandangan perempuan hampir lengkap. Ia menguraikan berbagai pandangan tentang model-model Gereja. Bagaimana memandang Gereja-Gereja Kristen dewasa ini, Gereja Kristen dan Sakramen, Gereja Kristen dan Tahbisan, termasuk kaum perempuan dan tahbisan imamat. Diuraikan pula pandangan kaum perempuan Ero-Amerika dengan Gereja Katolik, kaum Ero-Amerika dengan Gereja-Gereja Protestan dan uraian tentang bagaimana kaum perempuan membentuk Gereja Perempuan mereka sendiri. Menerima, apalagi mengakui pandangan kaum feminis, membutuhkan kerendahan hati karena budaya patriarki telah lama “memasung” pandangan perempuan dan dinyatakan inferior oleh para patriah. Akibatnya manusia, baik laki-laki maupun perempuan sendiri menganggap pandangan dan pendapatnya tidak semutu pandangan dan pendapat laki-laki.
Anne M.Clifford masih melengkapi bukunya dengan uraian tentang Spiritualitas Feminis, Allah. Maria serta para Beata dan Santa. Bab ini merupakan peneguhan pandangan kaum feminis radikal “the personal is political”. Spiritual itu berciri eksperiensal (berbasis pengalaman), maka ia bukanlah teori abstrak melainkan realitas yang dihidupi secara personal. Pertumbuhan spiritualitas feminis tidak terjadi secara gaib, tetapi berproses secara sadar dan oleh karena itu melalui pergumulan bersasar bagi setiap pribadi. Pembaca dapat pula mendapatkan saran-saran dan contoh bagaimana pergumulan Maria dan orang-orang kudus memperoleh spiritualitas hidupnya.
Buku ini diakhiri dengan bab yang menguraikan “beragam pandangan kaum feminis tentang ekologi”. Mengapa kaum feminis berteriak, bahkan menangis menjerit ketika pembangunan merusak lingkungan hidup, khususnya lingkungan alam, pembaca akan mengikuti logika teori ekofeminis yang dipaparkan dalam buku ini. Teori ekofeminisme ternyata terkait erat dengan teologi ciptaan Allah, Kitab Kejadian, hari-hari Penciptaan. Tafsiran tentang ihwal “berkuasalah” dan “taklukkanlah” dari Kejadian 1, berarti “penyembuhan” (buku Reuther Gaia and God). Penyembuhan lingkungan alam sangat dibutuhkan ketika manusia merusak alam lingkungan hidup demi keuntungan semata.
Patut diacungi ibu jari pula, karena Anne M.Clifford melengkapi bukunya dengan memperkenalkan tokoh feminis dan teolog feminis seperti : Elizabeth Cady Stanton, Elizabeth Schussler Fiorenza, Rosemary Radford Ruether, Mercy Amba Oduyoye, Elizabeth A.Johnson, dan Rachel Louise Carson tokoh ekofeminis. Selain itu buku ini menjadi lebih kaya dengan pertanyaan-pertanyaan untuk diskusi, berbagai macam acuan buku-buku pustaka dan catatan penulis yang sarat akan pengetahuan dan wawasan.
Akhirnya, tetapi bukan yang terakhir, saya masih berharap yang belum muncul dalam buku ini dilengkapi, yaitu “pandangan Yesus tentang feminisme”. Dan mungkin yang sedikit menyusahkan pembaca adalah penterjemah memilih kata-kata yang belum lazim didengar dan diketahui pembaca.
Namun semua itu tidak mengurangi keasyikan membaca buku yang sangat menarik untuk dibaca.
SELAMAT MEMBACA !!!!!
Yogyakarta 19 Maret 2005
____________________________
A.Nunuk Prasetyo Murniati
Dosen Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
POLEMIK INDUSTRI PERTAMBANGAN
Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dengan beberapa revisi, terdapat pelbagai usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Dalam konteks Flores dan Lembata, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan memberikan izin usaha pertambangan kepada perusahaan asing dan domestik.
Belakangan, usaha tersebut menuai kritik keras dari berbagai kelompok masyarakat. Buku ini mendokumentasikan pelbagai reaksi, aksi, dan pertimbangan seputar masalah pertambangan tersebut. Pertanyaan pokok yang diajukan di sini, apakah keberadaan pertambangan di Flores-Lembata berbuah berkah ataupun justru kutuk, dirangkai sekaligus menjadi judul buku ini.
Secara implisit terdapat latar kesadaran umum dari para penulis di sini bahwa masyarakat dan pemerintah dalam era otonomi daerah hendaknya senantiasa mengarah pada idealisme kesejahteraan bersama. Caranya adalah dengan mengerahkan segenap upaya dan sumber daya yang dimiliki daerah. Tentu saja pembangunan tersebut mengabdi pada tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan lahir dan batin masyarakat.
Di tengah usaha menuju kesejahteraan tersebut, terdapat berbagai peluang yang disediakan oleh arus kebudayaan global dengan keterbukaannya di berbagai bidang. Globalisasi, dalam pelbagai refleksi, adalah kekuatan yang mengandung berbagai ambivalensi. Selain menyediakan peluang, di dalamnya terdapat pelbagai aspek yang melahirkan sejumlah tantangan terhadap usaha ke arah kesejahteraan otentik.
Komodifikasi
Salah satu bentuk tantangan yang menjadi ciri dominan kebudayaan global adalah persaingan bebas yang ditentukan oleh hukum dan rasionalitas pasar. Rasionalitas pasar berasal dari sistem kapitalisme ekonomi yang melahirkan ”masyarakat komoditas” (meminjam bahasa pemikir kritis, Marcuse), di mana seluruh hidupnya dipusatkan pada usaha memperganda keuntungan ekonomi. Akibatnya, pelbagai nilai direduksikan ke dalam nilai ekonomi.
Di sinilah terjadi proses ”komodifikasi”, yaitu menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas yang berfungsi mendatangkan keuntungan ekonomis, termasuk hal-hal yang bernilai secara budaya, mistik, atau transenden. Singkatnya, rasionalitas kapitalisme global mereduksikan segala nilai ke dalam satu aspek saja, yaitu ekonomi, dengan slogan tersirat ”Apa pun yang terjadi, bisnis yang utama”. Jalan bagi makna dan nilai menjadi tertutup, kecuali nilai ekonomi semata.
Dalam kerangka otonomi daerah dan usaha peningkatan kesejahteraan, globalisasi sering diserap dalam aspek yang paling destruktif, yaitu melalui pelbagai kekuatan kapital dan modal. Konsekuensinya, di satu sisi lahir persilangan antara kekuatan kapital dan modal dengan cita-cita politik ideal, yaitu kesejahteraan masyarakat. Namun, rasionalitas kapital dan modal hanya berpusat pada satu aspek, yaitu ekonomi. Karena itu, setiap cita-cita kesejahteraan politik yang hanya mengandalkan kapital dan modal secara rasional akan menghasilkan kesejahteraan ekonomis semata.
Bahkan, kini disadari bahwa kesejahteraan ekonomi yang disangka dapat dihasilkan oleh kapital dan modal justru menambah radikalitas kemiskinan. ”Tidak ada masyarakat berkecukupan yang dibawa oleh kapitalisme”, demikian filsuf dan sosiolog Jean Baudrillard mengkritik pemikir ekonomi JK Galbraith. Yang ada hanyalah ”masyarakat pertumbuhan”, di mana modal senantiasa meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, kuantitas dan kualitas kemiskinan terus bertambah di antara proses pertumbuhan tersebut. Alhasil, miskin di Flores berarti masih bisa makan tiga kali sehari, sedangkan miskin di Jakarta berarti makan susah payah dua kali sehari. Karena itu, setiap cita-cita sosial dan politis tentang kesejahteraan yang hanya memerhatikan ”pertumbuhan ekonomi” tanpa mempertimbangkan pelbagai aspek lain dari kehidupan manusia sesungguhnya bersifat ideologis, utopis, dan ahistoris. Hanya merupakan retorika politik yang memuat rasionalitas komoditas, yaitu rasionalitas keuntungan semata bagi segelintir orang.
Polemik
Dalam kesadaran itulah buku ini ditulis. Selain sebagai bentuk kepedulian, keterlibatan dan partisipasi sosial politik para penulis juga dapat dilihat sebagai contoh destruktif kapitalisme global dalam konteks otonomi NTT. Terutama dalam ruang lingkup pembahasan yang khusus, yaitu persoalan industri pertambangan di Flores. Dengan mempelajari berbagai bukti dan fakta negatif mengenai usaha pertambangan di dunia serta mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan dan budaya, terdapat kesamaan nada dalam keseluruhan isi buku. Penolakan terhadap usaha pertambangan di Flores-Lembata.
Buku ini merupakan hasil investigasi Jaringan Advokasi Tambang Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan gereja Katolik melalui Komisi JPIC. Isinya, memaparkan pelbagai persoalan seputar investasi pertambangan di Flores dan Lembata. Semisal, persoalan lokasi, proses masuknya investor yang tidak diketahui masyarakat, dan kurangnya sosialisasi tentang industri pertambangan dengan berbagai dampaknya. Selain itu, juga konsekuensi hak asasi manusia yang diakibatkan oleh pencaplokan hak ulayat atas tanah.
Ditulis dengan gaya berpolemik (karena usaha pertambangan sendiri telah menjadi polemik di Flores-Lembata), buku ini dapat dipergunakan dalam pelbagai cara baca. Selain dapat dibaca dalam konteks ketegangan di antara ekspansi kekuatan kapital ke dalam dinamika otonomi daerah, juga sebagai dokumentasi berbagai berita dan aksi industri pertambangan Flores-Lembata.
Bagi yang ingin memahami persoalan pertambangan dalam konteks politik dan otonomi daerah, terdapat tulisan George Junus Aditjondro. Ia sekaligus juga menggagas peran gereja sebagai kekuatan civil society yang penting dalam konteks NTT. Baginya, ”Gereja perlu mengubah orientasi diakonia, dari ’diakonia palang merah’ yang menunggu jatuhnya korban ke ’diakonia palang pintu’ demi mencegah jatuhnya korban, dengan mendidik warga gereja terhadap dampak sosio-ekologis sektor pertambangan dari tahap eksplorasi sampai dengan produksi” (hal 323).
Mungkin, kelemahan buku ini ialah tiadanya tulisan dari pemerintah atau para pegiat tambang, sebagai pembelaan terhadap usaha pertambangan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih bebas menilai. Namun, karena buku ini mengedepankan realisme tambang ketimbang idealisme pertambangan, analisis rasional ketimbang perkiraan sekilas serba optimis, fakta-fakta ketimbang janji-janji muluk, serta pertimbangan dari pelbagai aspek kehidupan manusia ketimbang aspek ekonomi dan keuntungan semata (yang juga terasa meragukan dalam konteks tambang), maka kelemahan ini dapat dipandang secara positif, yaitu sebagai bentuk kejelasan opsi perjuangan para penulis dan editor dalam polemik tambang, termasuk juga kejelasan opsi penulisan buku.
Pertambangan di Flores-Lembata: Berkah atau Kutuk? tampak bukan saja soal berkah (aspek positif) atau kutuk (aspek negatif) dalam konteks pertambangan yang dapat ditemukan dalam buku ini. Kekayaan perspektif dan bidang kajiannya memperluas pemahaman tentang berbagai aspek sosial-politik yang lebih luas, yang dibuka oleh para penulis melalui masalah tambang.
YOSEPH RIANG
Putra Lembata, kru KMK-L
Sumber: KOMPAS, 17 Januari 2010
TEOLOGI PERJANJIAN LAMA: KESAKSIAN, TANGKISAN, PEMBELAAN
Sebuah Teologi Perjanjian Lama Posmodernis
Oleh : Emanuel Gerrit Singgih*
Walter Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, 2 jilid, 1132 hal, Maumere: Penerbit Ledalero, 2009 (buku asli: Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy, Minneapolis: Fortress Press, 1997, terjemahan Indonesia oleh tim penerjemah Seminari Tinggi Ledalero).
Pendahuluan
Ketika saya mula-mula menerima kiriman buku Brueggemann ini dari teman-teman Katolik di Ledalero, saya hampir tidak percaya bahwa mereka telah melakukan karya penerjemahan ini. Pertama karena buku Brueggemann dalam bahasa Inggris amat tebal (776 hal.), kedua bahasa Inggrisnya tidak mudah (amat bernuansa) dan ketiga Brueggemann adalah orang Protestan dan mengajar di sekolah teologi Protestan di Amerika Serikat. Bahwa mereka berhasil melakukannya merupakan sebuah prestasi khusus yang menggembirakan dan memperlihatkan bahwa semangat kerjasama ekumenis masih cukup kuat di Indonesia, di awal abad ke 21 yang penuh dengan penderitaan ini. Maka terbitnya buku ini merupakan alasan untuk sebuah celebration yang berfungsi sebagai sebuah kesaksian (testimony), sama seperti tekanan dalam buku Brueggemann: di Perjanjian Lama (selanjutnya PL) terdapat kesaksian mengenai umat Israel yang merayakan iman mereka, kendatipun ancaman dan petaka silih berganti. Untuk memperlihatkan signifikansi karya Brueggemann, maka sebelum saya membahas buku tsb, saya akan memberikan dulu sebuah survai umum mengenai Teologi Perjanjian Lama (selanjutnya TPL) sebagai latar belakang.
Teologi Perjanjian Lama sebagai pokok yang kontroversial
Meskipun sebagai sebuah mata kuliah TPL sudah diintrodusir oleh Gabler di Jerman sejak akhir abad ke 19 yl, sampai sekarang masih terdapat perdebatan mengenai isi mata kuliah tsb. Saya memberikan a.l. tiga masalah: pertama, apa perbedaannya dengan Tafsir PL? Apakah dalam mata kuliah ini kita melakukan tafsir (eksegese) terhadap teks-teks Alkitab, atau hanya memanfaatkan hasil tafsir yang sudah dilakukan oleh pakar-pakar tafsir? Beberapa buku TPL ternyata tidak puas dengan hasil tafsir orang lain dan karena itu berisi banyak tafsiran sendiri terhadap teks. Hal inilah a.l. yang menyebabkan beberapa buku TPL menjadi amat tebal, termasuk buku Brueggemann. Kedua: apakah perbedaan TPL dengan Teologi Sistematik dan/atau Dogmatik? Apakah kita memeriksa pokok-pokok yang sama dari perspektif teologi Kristiani, tetapi menguraikannya secara berbeda? Ataukah kita menggunakan perspektif teologi PL sendiri, kalau betul ada perspektif yang seperti itu? Apakah TPL bersifat historis (begitu menurut Gabler) dan di situlah bedanya dengan Teologi Sistematik, yang sering hanya mengutip teks-teks Alkitab untuk mendukung pandangan-pandangan doktrinal?
Kalangan pakar agama Yahudi (misalnya Jon Levenson) sudah lama tidak begitu sreg dengan literatur yang dihasilkan oleh teolog-teolog Kristiani mengenai PL, justru karena perspektif yang dipergunakan adalah teologi Kristiani dan bukan perspektif Yahudi. Istilah-istilah seperti “iman” (Ing: “faith”) dan “anugerah” (Ing: “grace”), “perjanjian” (covenant)” menurut pakar-pakar Yahudi tsb lebih berbau Kristiani daripada Yahudi. Belum lagi menurut Levenson, orang Yahudi asing dengan istilah “teologi”. Kitab suci Yahudi, Tenakh (yang oleh orang Kristiani disebut “Perjanjian Lama”) lebih bersifat jurisprudensi daripada teologis. Ketiga: apakah yang menjadi dasar bagi sebuah mata kuliah di dalam dunia akademis seperti sebuah fakultas teologi di universitas: teologi (yang dianggap “subjektif” dan karena itu kurang ilmiah) atau sejarah agama dan kemudian sosiologi agama (yang untuk waktu yang cukup lama dianggap “objektif” dan karena itu lebih ilmiah)? Maka sejak dulu ada dua mata kuliah yang merujuk pada material yang sama, yaitu TPL dan “Sejarah Agama Israel (Kuno)”. Sekolah-sekolah teologi tinggal memilih, mau mempelajari TPL atau Sejarah Agama Israel. Di kalangan para pakarpun ada yang menulis mengenai kedua-duanya, misalnya Th.C.Vriezen dari Belanda, yang menulis baik Teologi Perjanjian Lama maupun Sejarah Agama Israel (yang terakhir ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh BPK Gunung Mulia).
Di dalam pendahuluan buku Brueggemann dikemukakan sebuah perbedaan lagi yang berkaitan dengan munculnya paham posmodernisme di dunia Barat, tetapi baiklah saya mengakhiri survai umum ini dengan memperlihatkan bahwa di tahun-tahun 60-80an terdapat gairah besar untuk menulis TPL. Beberapa nama besar dapat saya sebutkan: Walter Eichrodt yang menemukan satu tema dominan dari TPL, yaitu “Perjanjian”; Gerhard von R ad yang menekankan bahwa TPL bukan tema abstrak melainkan narasi mengenai sejarah keselamatan Israel dan Theodorus C. Vriezen yang sudah disebut di atas, yang menekankan bahwa tema TPL adalah persekutuan. Tetapi mulai tahun 90-an gairah ini sangat menurun karena orang pesimis bisa menulis TPL yang menjawab sepenuhnya pertanyaan-pertanyaan di atas. Malah yang banyak dibaca adalah buku mengenai Sejarah Agama Israel yang ditulis oleh Rainer Albertz dari Jerman (Jer: 1992, Ing: 1994 dalam 2 jilid). Jadi usaha Brueggemann untuk menerbitkan TPL pada 1997 sebenarnya melawan arus umum yang pesimistik ini.
Mungkin karena tebal-tebal, kebanyakan buku TPL di atas tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Di Indonesia kita beruntung karena sejak 30 tahun yl sudah ada buku wajib TPL yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh alm Prof Dr Christoph Barth, yang semasa hidupnya adalah dosen di STT Banjarmasin dan STT Jakarta, yang juga diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia. Dia menulis TPL dalam tiga jilid dengan mengikuti jalur Von Rad, meskipun tidak membeo. Tahun 2008 terbit edisi revisi dari karya beliau, yang dilakukan oleh istrinya, Marie-Claire Barth, yang juga adalah pakar tafsir. Dosen-dosen TPL sekarang bisa menggunakan buku Barth bersama-sama dengan buku Brueggemann, dan menurut pengalaman saya menggunakan dua autoritas lebih memperkaya daripada hanya satu saja…
Brueggemann dan perspektif posmodern
Di akhir abad ke 20 orang mulai berwacana mengenai posmodernitas. Sampai sekarang masih terdapat perdebatan sengit mengenai hakikat dan makna posmodernitas. Ada pendapat bahwa posmodernitas melanjutkan modernitas (jadi tidak kembali ke masa pra-modern), namun memberi beberapa kritik terhadap modernitas. Tetapi ada juga yang menganggap bahwa terdapat diskontinuitas di antara posmodernitas dan modernitas. Ada tiga kritik terhadap modernitas oleh posmodernitas: pertama, kritik terhadap pemutlakan modernitas pada objektivitas pikiran. Objektivitas menjadi dasar atau fondasi (“foundationalism”). Posmodernitas menghargai subjektivitas. Objektivitas merupakan cita-cita yang dikejar dalam hubungan inter-subjektivitas. Kedua, posmodernitas tidak percaya pada narasi besar yang bersifat monolitik dengan satu tema besar (“meta-narrative”). Maka yang dicari adalah justru yang di pinggir dan ditinggalkan, minimal mengakui ada ambiguitas dan kejamakan dalam wacana. Ketiga, posmodernitas melakukan dekonstruksi, sebagai lawan dari modernitas yang melakukan konstruksi atau rekonstruksi. Dekonstruksi sering dipahami negatif sebagai “pembongkaran”, namun sebenarnya dekonstruksi hanya mengangkat ke atas ketidakkonsekwenan dalam bangunan yang sudah dikonstruksikan, dan menggali ketidakkonsekwenan ini sebagai pertanda suatu wacana yang tadinya disembunyikan.
Ketiga butir kritik di atas ada dalam TPL Brueggemann. Bagian pertama dari bukunya merupakan sebuah evaluasi terhadap pola-pola penyajian TPL yang sudah dilakukan selama ini oleh pakar-pakar TPL sebelumnya, yaitu semuanya merupakan konsekwensi dari penerimaan suasana sosio-intelektual dari modernitas (h. 17). Maka yang menonjol adalah pemikiran rasional a la Descartes, empirisme a la Locke dan sejarah a la Hegel, yang kesemuanya mereduksi materi PL. Para penafsir waktu itu yakin sekali bahwa mereka bisa menafsir dengan netral dan objektif. Sesudah Perang Dunia I, Karl Barth (h. 23dst) bangkit dan menentang sebagian dari pendekatan ini, yang dengan dalih objektifitas, mengeritik tradisi keagamaan yang berlaku. Namun yang dikritik rupanya adalah kemampuan kritis dari agama terhadap dunia, sehingga ketika dunia memutuskan untuk menciptakan bencana (yaitu perang dunia I), tidak ada lagi suara kritis dari agama terhadap dunia. Jadi rupanya tafsir historis kritis waktu itu bukannya objektif tetapi diam-diam berpihak pada status quo. Barth mengembalikan dimensi teologis ke dunia tafsir dengan menerbitkan tafsir surat Roma yang terkenal itu, dan dengan demikian sebagian dari agama bisa mengeritik dunia, yang lagi-lagi mau menciptakan bencana (perang dunia II)!
Tentu saja dapat dipertanyakan apakah Barth bukannya kembali ke model teologi sistematik/dogmatik yang katanya menafsir teks tetapi sebenarnya hanya mengkotbahkan teks yang telah diisi dengan muatan-muatan dogmatik! Maka pakar-pakar post-Barth bersikap mendua, di satu pihak tetap mau bertahan dalam semangat kritis dari modernitas, tetapi di pihak lain mau meneruskan warisan Barth yang teologis itu (hh. 28-29). Jadi di samping berbicara mengenai asumsi-asumsi teologis, TPL-TPL yang diterbitkan di masa modernitas tetap bertahan pada bangunan modernitas, yaitu berusaha mencari satu tema tetap dari PL misalnya Perjanjian (Eichrodt), Sejarah Keselamatan (Von Rad) dan Persekutuan (Vriezen). Uraian-uraian disajikan sebagai bersifat dingin dan objektif, dan biasanya ada kritik terhadap Israel kuno yang didasarkan atas objektifitas ini. Namun justru objektifitas inilah yang dikritik oleh pakar Yahudi sebagai memperlihatkan bias Kristiani. Tetapi objektifitas semacam ini juga menampilkan kritik terhadap budaya religius di Asia Barat daya kuno, misalnya Kanaan, yang dipertentangkan dengan agama di Israel Kuno. Yang di sekitar Israel itu baik, sedangkan yang di Kanaan tidak baik. Dengan agak mudah dapat diperlihatkan bahwa di balik ini ada usaha menjagokan agama Kristen terhadap agama lokal. Kemudian ada pemahaman sejarah sebagai evolusi yang bersifat developmentalistik, mulai dari yang awal (JE), yang tengah (D) dan yang akhir (P). Penilaian juga berbeda-beda, ada yang menilai yang awal itu baik, ada juga yang menilai yang akhir itu baik. Tetapi semuanya bisa kembali pada konsensus, yang bertolak dari asumsi tafsir kritis historis, yang pasti objektif.
Munculnya wacana mengenai posmodernitas bukannya tidak berdampak terhadap dunia tafsir PL. Dominasi tafsir historis-kritis akhirnya berakhir dengan munculnya model-model tafsir yang lain yang tidak bertolak dari latar belakang sejarah, mis: tafsir naratif dan tafsir-tafsir yang menekankan pada perspektif pembaca, mis: tafsir feminis. Tafsir yang terakhir ini tidak hanya berfokus pada teks, tetapi juga pada respons pembaca teks. Brueggemann secara khusus menyebutkan pendekatan retorik yang digabungkan dengan analisis sosial, sebagai yang paling memadai dalam menanggapi tantangan posmodernitas (hal 90). Justru dengan pendekatan semacam ini, orang bisa keluar dari kemenduaan menafsir yang di satu pihak mempertahankan tafsir kritis historis namun di lain pihak ingin juga menggali kekayaan teologis dari teks. Perubahan dari tafsir model tunggal ke pluralitas model tafsir memungkinkan munculnya TPL yang utuh dan (mudah-mudahan) tidak berprasangka terhadap agama Yahudi.
Brueggemann yang serius pada retorik mengusulkan agar kerangka pengadilan yang biasanya dipakai dalam kritik bentuk (form-criticism) terhadap teks PL dipergunakan untuk menyajikan teologi-teologi (jamak!). Di pengadilan ada kesaksian (testimony), tangkisan (dispute) dan pembelaan (advocacy). Tugas penafsir adalah menyusun kesaksian-kesaksian, kemudian kesaksian-kesaksian yang bersifat tandingan, dan akhirnya kesaksian-kesaksian yang tidak diminta alias advokasi. Karya Brueggemann disusun menurut kerangka ini (hh. viii-ix). Itu berarti tidak ada satu kesaksian atau teologi saja di PL melainkan kemajemukan teologi, di mana teologi yang satu bisa bertentangan dengan teologi yang lain. Brueggemann juga waspada terhadap penanganan bahan-bahan yang oleh TPL-TPL sebelumnya disajikan dengan prasangka, misalnya ibadah Israel kuno yang berpusat pada kultus (h.975dst) atau upacara korban. Pemahaman Kristen terhadap ibadah tsb tidak boleh dikuasai oleh prasangka Kristen, bahwa korban PL telah “digenapi” di dalam Kristus. Digenapi tidak boleh diartikan tidak berharga dan harus dihapus. Saya juga bisa menambahkan prasangka yang sering ada dalam TPL-TPL yl terhadap budaya hukum di Israel kuno, yang belum apa-apa sudah dicap legalistik. Di Indonesia prasangka ini cukup kuat, dan dengan prasangka ini budaya hukum dalam Islam dapat dikritik secara tidak langsung melalui kritik terhadap teks PL…
Beberapa catatan penutup
Secara keseluruhan Brueggemann dapat dikatakan berhasil di dalam membangun TPL dalam perspektif posmodern. Perhatiannya pada kesaksian tandingan (counter-testimony) memungkinkan kita membahas dua hal yang bertentangan, misalnya kerahiman Ilahi di satu pihak dan kekerasan Ilahi (yang tidak dapat dicarikan alasan) di pihak lain. Dua-duanya ada di dalam teks PL. Perhatian yang seimbang kepada pokok-pokok yang tidak langsung berkaitan dengan sejarah, misalnya pokok Hikmat, termasuk Hikmat yang melawan pemutlakan ortodoksisme (kitab Ayub dan kitab Pengkhotbah), sangat berguna terutama bagi kita di dunia ketiga, yang seringkali habis akal dalam menghadapi dominasi pemutlakan tsb di dalam kehidupan beragama di sekitar kita. Tradisi Hikmat di PL juga bisa didiskusikan dengan tradisi Hikmat peninggalan nenek moyang sehingga menjadi kontekstual, seperti yang telah dilakukan oleh Th.Mawene yang menulis disertasi SEAGST (2007) mengenai Hikmat PL dan Hikmat Papua.
Akhirnya, sebuah kritik terhadap Brueggemann. Meskipun berhasil membangun TPL dalam perspektif posmodern, barangkali perspektif tsb perlu dikritik juga. Kalau kita mengeritik semangat zaman, maka baik segi positif dan negatif perlu dikemukakan. Pertanyaannya apakah semua peninggalan dari era modernitas ditinggalkan semua? Apakah tidak ada yang positif yang dapat diteruskan oleh generasi posmodern? Brueggemann hanya menggunakan model tafsir non historis, dan mengabaikan tafsir historis. Tetapi apakah dengan demikian kejamakan model tafsir yang ia dambakan, sebenarnya ditinggalkan lagi? Brueggemann kerap memperlihatkan contoh tafsir historis dengan mengutip Wellhausen. Tetapi Wellhausen ‘kan berasal dari zaman baheula, ketika orang baru mulai bereksperimen dengan tafsir historis? Apakah adil menyamakan tafsir historis kontemporer dengan tafsir historis zaman Wellhausen? Tafsir kritis historis kontemporer menyetujui bahwa tafsir model atomistik a la Wellhausen (J, E, D, P) tidak bisa dipertahankan lagi, karena PL merupakan hasil editorial dari banyak tangan, dan ada tangan terakhir yang merangkum semuanya menjadi Pentateuch. Maka isi dari Torah tidak lagi bisa dirujuk ke satu periode sejarah saja, tetapi pada lapisan-lapisan. Nah, lapisan-lapisan itu memungkinkan sebuah penelitian sosiologis dan ideologis seperti trend masa kini, tetapi itu bukan tafsir non historis, melainkan tafsir historis kontemporer!
Yogyakarta, 11 Februari 2009.
________________________________________________
Biodata : Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D. adalah pendeta GPIB dan guru besar Teologi di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana dan CRCS-ICRS UGM, Yogyakarta. Buku-bukunya di bidang Perjanjian Lama adalah Hidup di bawah bayang-bayang maut: sebuah tafsir kitab Pengkhotbah (2000), Dunia yang Bermakna (1999) dan Dua Konteks (2009).