Penulis : Puplius M. Buru, dkk.
Editor : Puplius M. Buru, Bernardus S. Hayong
Ketebalan : 214 hlm.
Ukuran Buku : 14 x 21 cm
ISBN : Masih dalam proses
Tahun : Mei 2024
“Dialog dengan realitas” adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan isi seluruh buku ini. Realitas pertama yang mesti dihadapi Gereja dalam sejarah awalnya ialah berdialog dengan budaya lain. Gereja yang mulanya berakar dalam tradisi Yahudi mesti berdialog dengan tradisi Helenis. Beruntung bahwa pada awal kekristenan, dialog antara budaya dan iman tersebut ditandai oleh perjumpaan yang subur lagi kreatif. Interaksi awal ini dalam arti tertentu dapat menjadi paradigma untuk melihat misi Gereja hari ini. Realitas kedua yang dihadapi Gereja ialah pengalaman penderitaan yang sudah dimulai sejak pengalaman salib Yesus. Dalam hubungan dengan itu, Gereja dibangun sebagai sebuah komunitas alternatif yang mengandalkan solidaritas antarpara anggotanya sebagai motor penggerak utama dengan harapan akan sebuah dunia yang lebih baik.
Ketujuh artikel dari para akademisi dan teolog lokal yang dipublikasikan dalam buku ini dihadirkan ke tengah sidang pembaca dengan dua agenda utama. Pertama, untuk menjawabi beberapa isu pastoral konkret seputar hungan antara iman dan budaya yang sering menjadi hambatan penyebaran dan pendalaman iman kristen. Kedua, menunjukkan agenda teologi-pastoral Paus Fransiskus untuk mengarahkan kembali fokus pelayanan Gereja pada persoalan-persoalan konkret yang dialami umat di akar rumput. Dengan dua agenda ini diharapkan tersedia basis yang cukup solid untuk untuk merancang sebuah Teologi Lokal yang bertolak dari konteks pastoral dan tradisi atau budaya masyarakat NTT sebagaimana yang diimpikan Paus Yohanes Paulus II dalam Dokumen Ecclesia in Asia No. 20 dan 22.
Kiranya bunga rampai yang ada di tangan Anda ini membangkitkan kepedulian terhadap realitas penderitaan konkret manusia. Para penulis dalam buku ini yakin bahwa hanya melalui sikap peduli Allah yang berbelaskasih bisa kembali dirasakan kehadiran-Nya. Pengalaman akan Allah yang berbelaskasih pada akhirnya bisa membantu umat untuk menggali, mendalami, dan mengembangkan iman dan adat istiadat mereka sendiri. Dengan cara demikian iman diungkapkan di dalam konteks dan menurut kebudayaan dan adat-kebiasaan demi penyempurnaan dalam Kristus, sehingga iman akan Kristus dan kehidupan Gereja tidak asing lagi bagi mereka, melainkan mulai meresapi dan mengubah hidup mereka (Bdk. AG 21).
***