Judul : Moral Samaritan – Dari Kenisah Menuju Tepi Jalan
Penulis : Fredy Sebho
Ketebalan : 188 halaman
Ukuran : 140 x 210 mm
ISBN : 978-602-1161-52-4
Tahun Terbit : 2018
Sungguhkah kekudusan hidup itu melulu muncul dari sikap tunduk semadi dalam kuil-kuil peribadatan? Semata dari sembahyang yang panjang dan bertele-tele dalam kenisah-kenisah pemujaan?
Banyak orang yang merasa ‘sudah cukup’ untuk menjadi agamawan yang saleh hanya dengan bersembahyang dan tunduk sujud di kenisah, mengheningkan cipta lalu selesai. Dengan demikian, surga sudah niscaya dicapai. Ini keliru, sebab agama yang sehat dan otentik itu selalu memiliki keutamaan etis rangkap: emosi dan tindakan. Ini bukan saja mutlak, tetapi juga sebagai semacam kemestian kodrati.
Seandainya kita sudah ‘merasa cukup’ seperti ini, kita sesungguhnya sedang terjebak dalam kesalahan laten yaitu menjadi kaum agamawan yang hanya mengindahkan tuntutan transendensi dalam rumah pemujaan, sambil memunggungi tuntutan sosial duniawi yang sedang terjadi di luar tembok rumah pemujaan tersebut. Bukan tidak mungkin, kesalahan laten macam ini bisa membuat seseorang mudah tergelincir dalam kesalahan baru lagi yakni keangkuhan yang naif dan fanatisme yang dangkal.
Keunggulan agama tidak melulu terletak pada kelaziman untuk menjalankan ritus-seremonial. Ritualitas memang wajar dan mesti ada. Tak bisa dihilangkan seenaknya saja. Tetapi, ada aspek lain juga yang tidak boleh disepelehkan begitu saja yakni kasih nyata pada sesama sebagai bentuk pembenaran iman. Sebab, kesalehan kultis jika tidak dibarengi dengan kesalehan sosial adalah bentuk nonsense upon stilts, omong kosong yang muluk. Manusia bisa menjadi lebih mulia hidupnya ketika ia bukan hanya sebagai makhluk yang hanya pintar berharap, tapi juga serentak sebagai makhluk pembawa harapan saat ia memberikan dirinya dan membagikan kelebihannya dalam cinta yang total-utuh untuk mereka yang mendambakannya. Makanya, «tidak akan pernah ada orang yang dihormati karena apa yang dia terima, melainkan karena apa yang dia berikan.»
Membaca buku ini, moralitas dan keagamaan kita seakan sedang dicolek penulis sembari bercermin pada injil Lukas 10: 25-37. Bolehkah kita percaya bahwa moral dan agama bisa sama-sama saling bersentuhan satu dengan yang lainnya? Boleh saja! Tetapi, perkara akan muncul kalau kita mulai mempersoalkan bagaimana kalau kaum teis dan ateis memiliki konsepsi yang berlainan tentang, bahkan bertentangan terhadap keduanya.
Kata lainnya, jika seseorang diminta untuk mendeskripsikan persentuhan yang simbiosik antara moral dan agama dalam makna yang seluas dan seumum mungkin, bisa jadi ia akan mengalami kendala yang rumit dan pelik. Sebab, di satu sisi, ada yang mengakui bahwa moral dan agama memang tidak bisa dipisahjauhkan satu dengan yang lain karena keduanya dijadikan sebagai kerangka orientasi hidup yang wajib dimiliki dengan suasana hati penuh penerimaan, dan mematuhinya dengan kebahagiaan penuh antusias. Namun, di sisi lain, ada yang melihat bahwa agama, dalam fungsinya yang maksimal, samasekali tidak ada sangkut pautnya dengan moralitas seseorang, atau sebaliknya, moralitas seseorang tidak perlu mensyaratkan agama. Keduanya terpisah secara jelas dan akurat!
Penting untuk ditekankan bahwa isi buku ini samasekali bukanlah sebuah interpretasi biblikal atau penafsiran ipsissima verba, kata per kata atas injil Lukas 10: 25-37. Sekali lagi, bukan! Tetapi lebih merupakan sebuah pembeberan ala kadarnya mengenai unsur-unsur hidup keberagamaan dan moralitas berdasarkan teks injil tersebut. Tepatnya, inti keberagamaan dan moral bersamaan dengan pemahaman dan penghayatannya. Tujuannya bukanlah untuk “mengajari”, apalagi “menggurui” seseorang bagaimana seharusnya ia beragama dan bermoral. Saya tidak pernah merasa mampu dan berhak untuk itu. Buku ini juga sama sekali tidak bermaksud “mengadili” orang-orang beragama, karena dalam urusan-urusan agamawi, pengadilan sesungguhnya diserahkan saja pada saat akhirat kelak.