Judul : BAHTERA TERANCAM KARAM – Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik yang Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Penulis : Alexander Jebadu
Ketebalan : 350 halaman
Ukuran : 160 x 230 mm
ISBN : 978-602-1161-53-1
Harga :
Tahun Terbit : 2018
Bahtera Terancam Karam merupakan satu dari tiga seri buku yang merupakan penerbitan bahasa Indonesia dari disertasi doktoral Alexander Jebadu pada Universitas Kepausan Urbaniana Fakultas Misiologi Roma-Italia (Oktober 2011 – Februari 2014) yang berjudul The Impact of Ecological Exploitation on People and Nature: A Missiological Investigation on Extractive Industry with a Case Study in Flores Island-Indonesia (Dampak dari Eksploitasi Ekologis Terhadap Manusia dan Alam Ciptaan: Sebuah Investigasi Misiologis Terhadap Industri Pertambangan dengan Sebuah Studi Kasus di Pulau Flores-Indonesia).
Buku ini mengekplorasi lima masalah sosial ekonomi dan politik yang menantang negara kesatuan Republik Indonesia. Masalah pertama adalah kesenjangan sosial ekonomi yang semakin lebar antara segelintir orang super kaya dan mayoritas warga masyarakat miskin. Infrastruktur di kelima pulau besar Indonesia – Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulewesi dan Papua Barat – misalnya secara umum masih sangat memprihatinkan dan para penduduknya hidup sebagai petani-petani miskin, sementara rahim kekayaan alamnya yang berlimpah ruah telah diexploitasi secara masif selama ratusan tahun. Sejak merdeka dari eksploitasi penjajah Belanda tahun 1945 hingga saat ini, ekonomi Indonesia telah hanya menguntung segelintir orang kaya yang mereka keruk malalui korporasi-korporasi mereka baik korporasi swasta nasional maupun swasta transnasional. Di atas kelimpahan kekayaan alam nusantara dari Sabang hingga Marauke, lima puluh persen rakyat Indonesia masih hidup di bawah $2.00 sehari. Mereka ibarat ayam yang tinggal di lumbung padi menderita kelaparan.
Masalah kedua adalah urbanisasi dan kesenjangan pembangunan regional. Biasanya penduduk negara-negara industri cenderung untuk terkonsentasi hidup di wilayah perkotaan karena aktivitas industri biasanya cenderung lebih banyak beroperasi di kota-kota atau di sekitar wilayah kota. Sedangkan di negara-negara agraris di mana sebagian besar warga masyarakatnya adalah petani, mayoritas penduduk secara alamiah seharusnya lebih terkonsentrasi hidup di daerah pedesaan. Tapi Indonesia tampaknya tidak mengikuti pola ini. Meskipun masuk dalam kategori sebagai negara agraris, di mana sebagian besar penduduknya adalah petani, mayoritas penduduk Indonesia lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota ketimbang di daerah pedesaan. Dan lebih aneh lagi, dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia saat ini, 60 persen hidup di Pulau Jawa yang luasnya hanya 7 persen dari total wilayah daratan seluruh Indonesia. Urbanisasi ini antara lain disebabkan oleh pembangunan Indonesia selama ini yang cenderung terpusat di kota-kota dan di Pulau Jawa saja. Kami berargumentasi, peningkatan perusakan lahan pertanian petani desa di seluruh Indonesia oleh industri pertambangan akan memperburuk proses urbanisasi di Indonesia dan pemadatan penduduk Pulau Jawa.
Masalah ketiga adalah korupsi publik yang semakin masif, bandel, berjemaah dan ikut terdesentralisasi. Korupsi menodai hampir semua sektor kehidupan di Indonesia. Lembaga-lembaga yang diindentifikasi sebagai yang paling korup adalah kepolisian, sistem peradilan, pemerintah dari pusat hingga desa dan DPR bersama partai-partai politik sebagai kuda tunggangan mereka. Semakin diberantas, korupsi malah semakin merajalela. Menurut hasil sebuah penelitian, sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada tahun 2002 hingga tahun 2012, baru lima persen dari lautan masalah korupsi di Indonesia yang sudah berhasil diproseskan secara hukum oleh KPK dan para pelakunya dijebloskan ke dalam kandang penjara. Sehubungan dengan hal ini, kami berargumentasi bahwa expansi industri pertambangan di seluruh Indonesia pada era otonomi daerah sekarang ini yang penuh dengan manipulasi dan pembohongan, kalau tidak dihentikan, akan menjadi the new breeding ground for public corruption atau menjadi lahan baru bagi praktek korupsi publik.
Masalah keempat adalah pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) yang masih tinggi. Kendatipun sejak lahir tahun 1945 mengklaim diri sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi supremasi hukum, konsitusinya – UUD45 – misalnya memuat dan sekaligus melindungi sejumlah unsur utama hak-hak asasi manusia (HAM) dan telah ikut meratifikasi 10 dari 14 kovenan HAM PBB, Indonesia hingga hari ini tetap menjadi salah satu negara pelanggar HAM paling berat di dunia. Khususnya di era otonomi daerah ini, jenis pelanggaran HAM yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah pelanggaran HAM yang berhubungan dengan konflik atas sumber-sumber kekayaan alam di desa-desa. Anehnya, pelaku utama dari pelanggaran HAM ini justeru perangkat negara seperti aparat kepolisian, aparat militer, para politisi dan pemerintah daerah dalam kerjasama dengan korporasi.
Masalah kelima, invasi perusahaan transnasional di bidang pertambangan yang semakin meningkat sejak era otonomi daerah. Hampir tak terbilang banyaknya peristiwa protest warga masyarakat desa di daerah-daerah kabupaten di seluruh Indonesia melawan korporasi transnasional di bidang pertambangan yang tanpa ampun menyeruduk lahan-lahan pertanian mereka tanpa restu mereka sebagai pemilik tanah. Lebih tak dimengerti lagi, pemerinah daerah, polisi dan militer yang seharusnya ada untuk melindungi hak-hak sosial dan sumber ekonomi rakyat Indonesia justeru berdiri di pihak korporasi transnasional dan dengan senjata melindungi perusahaan transnasional untuk mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi warga masyarakat desa dengan menggusur lahan-lahan pertanian mereka.
Tak pelak lagi, ini merupakan sebuah skandal terhadap tujuan negara Republik Indonesia yang dibentuk pada tahun 1945 dan sebuah tindakan pengkianatan terhadap Pancasial dan UUD45. Padahal tujuan utama 200-an suku bangsa di kepulauan Nusantara bersepakat untuk bersatu menjadi satu negara, satu tanah air dan satu bangsa pada tahun 1945 adalah untuk bersama-sama melindungi hak-hak sosial dan sumber-ssumber ekonomi mereka dari exploitasi sewenang-wenang oleh bangsa asing dan bersama-sama mengejar keadilan sosial-ekonomi dan kesejahteraan secara lahir dan batin. Tindakan aparat keamanan, pemerintah daerah dan para politisi Indonesia yang membantu perusahaan-perusahaan asing untuk merangsek sumber-sumber ekonomi warga masyarakat desa di seluruh Indonesia tanpa restu dari mereka dan tindakan menghalau mereka dari tanah-tanah milik mereka jelas-jelas merupakan tindakan jahat melawan hakekat kehidupan berbangsa dari negara Republik Indonesia sejak 1945 yang dimeterai oleh UUD45 dan Pancasila.
Selanjutnya buku ini mempresentasikan secara panjang lebar sepak terjang industri pertambangan bermasalah di Flores oleh korporasi transnasional sejak otonomi daerah bergulir pada tahun 1999 sebagai sebuah contoh kasus. Setelah “membeli” para politisi dan pemerintah daerah, korporasi-korporasi transnasional mengeksploitasi mineral dengan tanpa kenal ampun menghancurkan sisa-sisa kecil hutan lindung dan lahan-lahan pertanian – sawah, ladang, kebun kopi, cengkeh, kemiri etc – dari para petani miskin di desa-desa tanpa persetujuan mereka sebagai pemilik tanah, dengan kompensasi yang sangat minim dan bahkan sekian sering tanpa kompensasi sama sekali dan tanpa analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang memadai.