Judul : MENDENGARKAN APA KATA ROH KEPADA GEREJA
Pengarang : P. Petrus Dori Ongen, SVD
Penerbit : Penerbit Ledalero
Ukuran Buku : 14 cm X 21 cm
Ketebalan : 160 halaman
ISBN : 978-623-6724-06-4
Tahun Terbit : Maret 2021
Abad XXI yang tengah kita lewati, tidak hanya kumpulan hari-hari yang ditandai dengan penyakit, akibat wabah internasional dan yang tak kunjung usai: virus corona atau yang lebih terkenal dengan sebutan Covid-19 itu. Sadar atau tidak, kata kunci yang paling digunakan sejak tahun 2020 hingga tahun 2021 ini adalah Covid. Wabah ini telah mengusik kenyamanan dan memaksa kita untuk mengambil jarak (social distance) dari orang lain.
Melebihi tantangan global yang setiap hari memenuhi halaman-halaman media massa dan media sosial, bagi umat beriman, era ini adalah waktunya Roh Kudus. Masa ini penuh dengan Roh Allah. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Tuhan sendiri pernah bersabda: “Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” . Roh yang berasal dari Bapa itu bertugas untuk mengajarkan dan mengingatkan umat beriman sepanjang sejarah tentang kata-kata Yesus: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” . Roh Tuhan mengingatkan kita sepanjang ziarah duniawi ini bahwa kedatangan Yesus sebagai Alfa dan Omega, awal dan akhir adalah satu kepastian sebagaimana telah dimanifestasikan melalui peristiwa penderitaan, wafat dan kebangkitan-Nya.
Dan lagi, Yesus yang pernah menjanjikan Roh Kudus kepada para pengikut-Nya itu berkata: “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku. Ketika Penolong itu datang, yang akan Aku utus kepadamu dari Bapa, yaitu Roh Kebenaran yang berasal dari Bapa, Dia akan bersaksi tentang Aku”. Menurut Kitab Suci, Roh yang dari Bapa bertugas untuk mengajar, mengingatkan dan menjadi saksi kebenaran.
Dalam era yang ditandai dengan evangelisasi baru, kehadiran Roh Kudus terasa sangat mendesak. Sekarang, “karya pewartaan Injil tidak akan pernah mungkin tanpa karya Roh Kudus”, demikian Paus Paulus VI menegaskan. Mengangkat kembali ajaran pendahulunya itu, Paus Yohanes Paulus II pun membuka abad kita ini dengan seruan: “Roh Kudus bagi era kita ini adalah agen utama evangelisasi baru”. Mendengarkan Roh Kudus, bagi Paus Fransiskus, “lebih dari sekadar mendengar” . Yang terpenting menurut Paus adalah saling mendengarkan, lalu bersama-sama mendengarkan “Roh Kebenaran” , untuk mengetahui bersama[1]sama apa kata Roh kepada gereja6 . Kita akan bertanya diri: apa itu gereja?
Kata gereja dalam bahasa Indonesia mirip dengan kata Igreya dalam bahasa Portugis. Kata yang sama bukan berasal dari lingkungan Kristen melainkan dari bahasa Yunani dan digunakan pertama-tama dalam konteks dan lingkup orang Yunani: ἐκκλησία. Dalam bahasa Latin: ecclesia, kata yang sama ini berarti “orang-orang yang dipanggil keluar”, atau majelis orang banyak . Bagi orang Yunani Gereja adalah suatu masyarakat yang berpemerintahan sendiri dan demokratis; bagi mereka Gereja adalah masyarakat theokratis yang anggotanya adalah orang-orang yang tunduk kepada pemerintahan Allah. Dalam Perjanjian Lama, kata yang sama merujuk pada “sidang jemaat” atau masyarakat Israel, umat pilihan yang dipanggil keluar oleh Allah dari perbudakan Mesir.
Bagi orang Kristen, umat Perjanjian Baru, sebutan Gereja pertama kali digunakan Yesus sendiri, ketika sesudah bangkit, Dia mengangkat Petrus menjadi kepalanya: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya”.
Jadi Yesus sendirilah yang mendirikan gereja. Dialah batu penjuru di atas mana gereja didirikan. Dialah dasar semua pengalaman kristiani dan gerejawi. Dari Dialah segala kegiatan dan ajaran gereja harus datang. “Tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus”. Dialah Pendiri, Pembangun dan hanya Dia saja Pemilik gereja.
Setelah Yesus pulang kembali kepada Bapa, Ia mengirimkan Roh Kudus, sebagai pemenuhan janji-Nya untuk menguatkan, menjiwai dan menganimasi gereja. Roh yang berasal dari Kristus dan dianugerahkan secara cuma-cuma ini dimiliki oleh semua umat beriman sejak pembaptisan. Dengan peristiwa ini maka mengusahakan kesempurnaan bukanlah hak istimewa dari orang-orang atau kaum tertentu saja melainkan semua orang terbaptis. Itulah sebabnya gereja menerima bukan secara privat melainkan secara publik pemberian diri para anggotanya, agar pemberian diri itu boleh berguna bagi seluruh gereja Kristus.
Melalui semua orang terbaptis, Roh Kudus menyatakan kehadiran dan kuasa-Nya dalam hidup dan kesaksian hidup mereka melalui ketujuh karunia, seperti yang disebutkan dalam Kitab nabi Yesaya, yakni: (1) kebijaksanaan (2) pengertian, (3) nasihat (4) keperkasaan, (5) kesalehan, yaitu kesenangannya adalah takut akan Tuhan/ piety, (6) pengenalan akan Tuhan, (7) takut akan Tuhan. Semua karunia ini, jika sungguh disadari, akan mewarnai seluruh kehidupan dan kesaksian hidup umat beriman. Jadi satu kehadiran yang inklusiv, untuk semua orang terbaptis di seluruh dunia dan dari segala zaman.
Bertolak dari anugerah istimewa yang diterima umat beriman ini, adalah penting dan mendesak mendengarkan, memasang telinga dengan penuh perrhatian, kepekaan dan kerendahan hati terhadap bisikan suara Roh Kudus, yang tak henti-hentinya dan lewat berbagai macam cara berbicara kepada kita dalam dan melalui gereja. Dengan dan di dalam orang-orang biasa, yakni anggota gereja, Roh Allah sendiri hidup.
Mendengarkan adalah sikap hati yang selalu dituntut Allah sendiri dari umat pilihan-Nya: “Dengarlah hai Israel….!” Yang sama dimintakan Yesus kepada para pengikut-Nya. Dalam era yang ditandai dengan usaha dan perjuangan untuk membangun dialog, sikap mendengarkan dengan kerendahan hati partner bicara mutlak perlu. Dalai Lama, tokoh dan pemimpin spiritual tertinggi umat Budha di Tibet, pernah menjelaskan pentingnya sikap mendengarkan. Orang yang berbicara, akan menyampaikan apa yang sudah diketahuinya. Tidak ada hal baru! Sementara orang yang memilih mendengarkan, akan selalu memiliki pengetahuan dan hal-hal baru.
Dengan sikap mendengarkan yang sama, umat beriman boleh yakin dan percaya bahwa Roh yang telah membimbing dan menuntun umat Allah di masa lalu, dan menuntun perjalanan seluruh dunia, sungguh hadir dalam era kita ini. Sabda Kristus telah hadir begitu aktif dan dinamis di masa lalu. Dia akan terus hadir secara berpengaruh dan dinamis juga dalam era kita ini. Maka adalah penting, demikian Paus Yohanes Paulus II, di era yang ribut gaduh ini kita menemukan kembali Roh yang sama, memberi[1]Nya ruang dan menjadikan-Nya pelaku, aktor pertama dan utama untuk membangun Kerajaan Allah sepanjang sejarah dan mempersiapkan realisasi penuhnya di dalam dan melalui Kristus.
Dalam terang dan inspirasi inilah, buku ini ditulis. Pemaparannya akan diawali dengan tantangan-tantangan umat beriman abad ini dalam mendengarkan suara Roh Kudus (bab 1). Mengapa justru abad ini?
Bagi penulis ada dua peristiwa penting dan bersejarah yang telah membekas di dalam gereja, baik universal maupun gereja lokal Indonesia. Kedua momen bersejarah ini terjadi beriringan satu sesudah yang lain, yakni perayaan 50 tahun ajaran Konsili Vatikan II tahun 2012 (bab 2) dan 100 tahun karya misi Serikat Sabda Allah (SVD) di Indonesia tahun 2013 (bab 6). Kendati telah lewat dalam waktu, namun kedua peristiwa besar ini, terasa tetap lestari dan sarat makna karena diangkat dan direfleksikan kembali dalam terang Roh Kudus, motor penggerak yang selalu menjadikan segala sesuatu baru.
Hubungan antara kedua peristiwa ini dimengerti dalam relasi sebab dan akibat. Nyatanya, Roh Kudus yang berhembus keluar dari Konsili ekumenis Vatikan II 50 tahun silam (1962-2012), tidak menerpa gedung-gedung kosong melainkan menyapa hati manusia. Kekuatan Allah yang menghendaki sebuah gereja: “Ecclesia semper reformanda – gereja harus selalu tereformasi” itu menemukan telinga dan sikap hati yang siap, patuh dan setia mendengarkan, dalam diri para pengikut Sang Sabda (bab 7, 8, 9) dan gereja lokal di mana para penerus dan ahli waris karisma Santo Arnoldus Janssen ini berkarya. Hingga hari ini, Roh yang bertindak di setiap zaman dan dunia itu, terus memampukan mereka untuk berkarya di tengah zaman yang berubah, secara terbuka, inovatif dan kreatif lewat karya-karya di bidang formasi kaum terpanggil, baik klerus, kaum religius maupun awam, pelayanan misioner di paroki dan pastoral kategorial untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian dan ekologi serta pengiriman misionaris ke seluruh dunia.
Penulis yakin dan percaya bahwa pertumbuhan hidup rohani yang diwarnai dengan sikap mendengarkan dan mengandalkan Roh Allah akan terus mungkin jika kita menyadari dengan sungguh dan terbuka tantangan-tantangan di hadapan kita.
Dengan keterbukaan ini, hal yang tampak sulit bukan lagi menjadi ancaman melainkan berkat untuk memupuk dan membina kepekaan membaca dan menyikapi peristiwa-peristiwa hidup kita, apa pun itu dalam terang Roh Allah. Hanya dalam terang Roh yang sama dan dengan sikap terbuka terhadap-Nya, kita akan mampu mendengarkan suara dan nasehat Tuhan penuh kesadaran dan kerendahan hati lewat peristwa Pandemi (bab 10). Sesungguhnya Roh Allah, utusan Bapa dan Putra terus berbicara kepada kita. Hal itu terjadi bukan di luar melainkan di dalam peristiwa hidup kita, setiap hari.